PENERAPAN MEDIA PEMBELAJARAN UNTUK MENINGKATKAN EFEKTIVITAS DIKLAT
OleH : Goto Kuswanto, SIP.MM - WIDYAISWARA MADYA KANTOR DIKLAT KABUPATEN BANYUMAS
ABSTRAK
Hasil belajar peserta didik yang tinggi merupakan tolak ukur untuk menilai keberhasilan penyelenggaraan pendidikan. Hasil belajar peserta didik tidak 100% ditentukan kecerdasan intelektual peserta diklat (IQ) tetapi juga dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak kalah penting, yaitu kecerdasan emosional. Berbagai hasil kajian dan pengalaman menunjukkan bahwa dalam pembelajaran, aspek emosional lebih penting daripada aspek intelektual. Dan hal yang irasional lebih penting daripada hal yang bersifat rasional. Hasil berbagai penelitian menunjukkan bahwa hal-hal yang irasional dapat membuka pikiran dan membimbing mental yang memungkinkan tumbuhnya ide-ide baru. Oleh karena itu dalam mengupayakan peserta diklat untuk meraih hasil belajar yang tinggi dalam segala bidang, setiap pendidik hendaknya juga meperhatikan peran kecerdasan emosional. Dengan memilik kecerdasan emosional yang baik, peserta diklat akan menunjukkan sikap belajar yang baik pula, seperti disiplin dalam belajar, tertib dalam belajar di kelas, dan memiliki motivasi yang tinggi untuk belajar.
Kata kunci: Kecerdasan Emosional untuk Meningkatkan Hasil Belajar
A. Pendahuluan
Keberhasilan proses pendidikan pada dasarnya dapat diukur melalui kesadaran peserta didik untuk belajar. Peserta didik yang sadar bahwa belajar merupakan kebutuhannya maka akan belajar dengan giat dan penuh kesungguhan, sehingga hasil belajarnya juga memuaskan. Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (Slameto, 2003).
Belajar akan menghasilkan perubahan-perubahan dalam diri seseorang sebagai hasil belajarnya yang disebut dengan hasil belajar. Hasil belajar menurut Yaspir Gandhi Wirawan dalam Murjono (1996) adalah:
“Hasil yang dicapai seorang peserta didik dalam usaha belajarnya sebagaimana dicantumkan di dalam nilai rapornya. Melalui hasil belajar seorang peserta didik dapat mengetahui kemajuan-kemajuan yang telah dicapainya dalam belajar.”Proses belajar adalah proses yang sifatnya kompleks dan menyeluruh. Banyak orang yang berpendapat bahwa untuk meraih prestasi yang tinggi dalam belajar, seseorang harus memiliki Intelligence Quotient (IQ) yang tinggi, karena inteligensi merupakan bekal potensial yang akan memudahkan dalam belajar dan pada gilirannya akan menghasilkan hasil belajar yang optimal. Menurut Binet dalam Winkel (1997) hakikat inteligensi adalah kemampuan untuk menetapkan dan mempertahankan suatu tujuan, untuk mengadakan penyesuaian dalam rangka mencapai tujuan itu, dan untuk menilai keadaan diri secara kritis dan objektif.
Kenyataannya, dalam proses belajar mengajar sering ditemukan peserta didik yang tidak dapat meraih hasil belajar yang setara dengan kemampuan inteligensinya. Ada peserta didik yang mempunyai kemampuan inteligensi tinggi tetapi memperoleh hasil belajar yang relatif rendah, namun ada peserta didik yang walaupun kemampuan inteligensinya relatif rendah, dapat meraih hasil belajar yang relatif tinggi. Itu sebabnya taraf inteligensi bukan merupakan satu-satunya faktor yang menentukan keberhasilan seseorang, karena ada faktor lain yang mempengaruhi.
Menurut Goleman (2002), kecerdasan intelektual (IQ) hanya menyumbang 20% bagi kesuksesan, sedangkan 80% adalah sumbangan faktor kekuatan-kekuatan lain, diantaranya adalah kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (EQ) yakni kemampuan memotivasi diri sendiri, mengatasi frustasi, mengontrol desakan hati, mengatur suasana hati (mood), berempati serta kemampuan bekerja sama.
Dalam proses belajar peserta didik, kedua inteligensi itu sangat diperlukan. IQ tidak dapat berfungsi dengan baik tanpa partisipasi penghayatan emosional terhadap mata pelajaran yang disampaikan. Namun biasanya kedua inteligensi itu saling melengkapi. Keseimbangan antara IQ dan EQ merupakan kunci keberhasilan belajar peserta didik (Goleman, 2002). Pendidikan bukan hanya perlu mengembangkan rational intelligence yaitu model pemahaman yang lazimnya dipahami peserta didik saja, melainkan juga perlu mengembangkan emotional intelligence peserta didik .
Hasil beberapa penelitian di University of Vermont mengenai analisis struktur neurologis otak manusia dan penelitian perilaku oleh LeDoux (1970) menunjukkan bahwa dalam peristiwa penting kehidupan seseorang, EQ selalu mendahului intelegensi rasional. EQ yang baik dapat menentukan keberhasilan individu dalam hasil belajar membangun kesuksesan karir, mengembangkan hubungan suami-istri yang harmonis dan dapat mengurangi agresivitas, khususnya dalam kalangan remaja (Goleman, 2002).
Menurut Goleman (2002), kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.
Mengingat pentingnya kecerdasan emosional (EQ) untuk menunjang hasil belajar peserta didik, maka pengetahuan tentang kecerdasan emosional penting untuk dimiliki oleh setiap widyaiswara agar mampu mengembangkan kecerdasan emosional peserta didik. Peserta didik yang memiliki kecerdasan emosional dapat mengendalikan dirinya dengan baik dalam mengikuti proses pembelajaran dan memiliki kesadaran yang tinggi untuk belajar. Hal inilah yang menjadi modal besar bagi peserta didik untuk meraih hasil belajar dengan standar tinggi dalam berbagai hal, baik akademik maupun non akademik.
B. Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional pertama kali diplublikasikan oleh dua dosen yakni Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire. Mereka mendefinisikan kecerdasan emosional adalah sebagai suatu kecerdasan sosial yang berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam memantau, baik emosi dirinya maupun emosi orang lain dan juga kemampuanya dalam membedakan emosi dirinya dengan emosi orang lain. Dimana kemampuan ini diarahkan pada pikiran dan perasaan (Makmun Mubayidh, 2006).
Daniel Goleman (Abuddin Nata, 2009) menyatakan bahwa emotional quotient (kecerdasan emosional) mengandung beberapa pengertian. Pertama, kecerdasan emosi tidak hanya berarti bersikap ramah. Pada saat tertentu yang diperlakukan mungkin bukan sikap ramah, melainkan, misalnya sikap tegas barangkali memang tidak menyenangkan, tetapi mengungkapkan kebenaran yang selama ini dihindari. Kedua, kecerdasan emosi bukan berarti memberikan kebebasan pada perasaan, melainkan mengelola perasaan sedemikian rupa sehingga terekspresikan secara tepat dan efektif, yang memungkinkan orang bekerjasama dengan lancar menuju sasaran bersama. Kecerdasan emosional lebih lanjut dapat diartikan kepiwaian, kepandaian, dan ketetapan seseorang dalam mengelola diri sendiri dalam berhubungan dengan orang lain yang berada di sekelilingnya dengan menggunakan seluruh potensi psikologis ynag dimilikinya, seperti inisiatif dan empati, adaptasi, komunikasi, kerjasama, dan kemampuan persuasi yang secara keseluruhan mempribadi pada diri seseorang.
Rauven Baron (Hamzah B. Uno, 2006), menyatakan bahwa kecerdasan emosional adalah serangkaian kemampuan, kompetensi, dan kecakapan nonkognitif yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat penulis simpulkan bahwa kecerdasan emosional pada intinya adalah kemampuan seseorang dalam menghadapai dan menyikapi apa yang terjadi dalam dirinya sendiri maupun yang ada di sekitarnya dengan baik, tidak berlebihan dalam menyikapinya dan dapat membedakan perasaan emosi dirinya dengan emosi orang lain.
Lawrence E. Shapire (2003: 5) dalam bukunya “mengajarkan Emotional Intellegence pada anak”, mengutip pendapat Salovey dan Mayer tentang indkator-indikator emotional quotient (EQ) yang ada pada setiap anak adalah sebagai berikut:
Memiliki empati, yaitu memahami perasaan orang lain.
Lawrence E. Shapire (2003: 5) dalam bukunya “mengajarkan Emotional Intellegence pada anak”, mengutip pendapat Salovey dan Mayer tentang indkator-indikator emotional quotient (EQ) yang ada pada setiap anak adalah sebagai berikut:
a. Memiliki empati, yaitu memahami perasaan orang lain.
b. Bisa mengendalikan amarah.
c. Memiliki kemandirian.
d. Memiliki kemampuan menyesuaikan diri.
e. Disenangi orang lain.
f. Kemampuan memecahkan masalah antar pribadi.
g. Memiliki ketekunan.
h. Memiliki kesetiakawanan.
i. Memiliki keramahan.
j. Memiliki sikap menghormati orang lain.
Aspek-aspek kecerdasan emosional dan indikatornya menurut Samsul Yusuf (2002) disajikan dalam bentuk tabel di bawah ini:
No |
Aspek |
Karakteristik Perilaku |
1. |
Kesadaran diri |
a. Mengenal dan merasakan emosi sendiri b. Memahami perasaan yang timbul c. Mengenali pengaruh dari perasaan sendiri |
2. |
Mengelola emosi |
a. Lebih mampu mengungkapkan amarah dengan tepat kearah yang positif tanpa berkelahi b. Memiliki perasaan yang positif tentang diri sendiri, keluarga dan lembaga pendidikan
|