Penguatan Otonomi Desa Menuju Kemandirian Desa
Penguatan Otonomi Desa Menuju Kemandirian Desa
Oleh :
Drs. JOELIONO
WIDYAISWARA UTAMA
KANTOR DIKLAT KABUPATEN BANYUMAS
Abstrak
Desa \sebagai unit organisasi pemerintah yang berhadapan langsung dengan masyarakat dengan segala latar belakang kepentingan dan kebutuhannya mempunyai peranan yang sangat strategis, khususnya dalam pelaksanaan tugas di bidang pelayanan publik. Maka pembarian kewenangan - kwenangan yang lebih besar disertai dengan pembiayaan dan bantuan sarana-prasarana yang memadai mutlak diperlukan guna penguatan otonomi desa menuju kemandirian desa
Kata Kunci : Otonomi desa, Kemandirian Desa
Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah mengamanatkan bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat ditempuh melalui 3 (tiga) jalur, meliputi : peningkatan pelayanan publik, peningkatan peran serta dan pemberdayaan masyarakat dan peningkatan daya saing daerah
Sehingga untuk mengemban misi dimaksud desa memiliki kedudukan dan peranan yang strategis sebagai unit organisasi pemerintah yang langsung berhadapan dengan masyarakat dengan segala latar belakang kebutuhan dan kepentingannya. Ada sebuah adagium yang mengatakan bahwa : “ Rule The Village and You Rule The Country “,secara bebas diterjemahkan bahwa Siapa dapat menguasai atau memerintah desa, maka dia akan dapat menguasai dan memerintah negara. Sehingga kepada Pemerintah Desa perlu diberikan kewenangan yang memadai untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri menuju terwujudnya “ Kemandirian Desa “. Konsep kemandirian dalam konteks pembangunan pedesaan bukan hanya dilihat dari aspek kemauan dan kemampuan rakyat pedesaan untuk menggali dana dan potensinya sendiri dalam membiayai kegiatan pemerintahan dan pembangunan yang dibutuhkan oleh masyarakat desa sendiri.
Loekman Soetrisno dalam makalahnya yang berjudul Negara dan Peranannya dalam Menciptakan Pembangunan Desa yang Mandiri (1988) mengisyaratkan bahwa : “ Suatu pembangunan dikatakan berhasil tidak hanya apabila pembangunan itu menaikkan taraf hidup masyarakat, tetapi juga harus diukur dengan sejauh mana pembangunan itu dapat menimbulkan kemauan dan kemampuan dari suatu masyarakat untuk mandiri, dalam arti kemauan masyarakat itu untuk menciptakan pembangunan dan melestarikan serta mengembangkan hasil-hasil pembangunan, baik yang berasal dari usaha mereka sendiri maupun yang berasal dari prakarsa yang datang dari luar masyarakat “.
Sejalan dengan semangat untuk mewujudkan kemandirian desa, maka sejak diberlakukannya Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang kemudian diganti dengan Undang Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menunjukkan semakin kuatnya komitmen dan pengakuan pemerintah untuk memberikan otonomi kepada desa dengan memberikan kewenangan untuk membuat kebijakan-kebijakan tentang desa, terutama dalam memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat desa untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya sendiri.
Untuk itu upaya lain yang perlu ditempuh, yaitu untuk dapat menempatkan desa sebagai subyek dan bukan sebagai obyek pembangunan harus diwujudkan untuk menghindari terulangnya pengalaman buruk masa lalu . Salah satu pengalaman yang dapat kita jadikan sebagai suatu pelajaran, yakni pemberian bantuan berupa Inpres Bantuan Desa yang dikucurkan sejak awal tahun 1970-an pada dasarnya dimaksudkan sebagai “ perangsang “ atau stimulan untuk meningkatkan swadaya dan gotong royong masyarakat rupanya belum memberikan dampak yang diharapkan, karena oleh sebagian desa, terutama desa yang kurang mampu justru Subsidi / Bantuan Desa dianggap sebagai “ modal pokok “ yang kurang memberikan dampak positif, terutama dalam mewujudkan pemerataan pertumbuhan antar desa. Sisi negatif lainnya yakni munculnya gejala “ ketergantungan “, karena dengan dihapuskannya Inpres Bantuan Desa mengakibatkan desa merasa sangat kehilangan salah satu sumber daya keuangan yang sebelumnya dapat membantu penyelenggaraan pembangunan di desa.
Pemerintah Kabupaten sebagai daerah yang diberi otonomi yang semakin diperluas harus melakukan perubahan mendasar pada pembagian fungsi dan kewenangan, terutama dalam penataan perimbangan keuangan atau desentralisasi fiskal antara pemerintah Kabupaten dan pemerintah desa. Maka Desa sebagai organisasi pemerintahan yang terendah harus diberi kewenangan untuk mengelola keuangannya sendiri, mulai dari tahap perencanaan sampai pengawasan dengan melibatkan stakeholders di tingkat Desa, khususnya Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan organisasi masyarakat lainnya.
Otonomi Desa salah satunya sebagai konsekuensi dari Azas Desentralisasi didalam proses penyelenggaraannya tidak akan terlepas dari pembiayaan, penyediaan sarana dan prasarana dan kualitas SDM Aparatur agar otonomi desa dapat berjalan dengan baik. Pada hakekatnya dengan otonomi yang diberikan kepada desa diharapkan akan dapat mewujudkan “ kemandirian “. Sri Edi Swasono (1988 ) berpendapat bahwa : “ Kemandirian tidak lain adalah kewaspadaan yang dicapai melalui otoaktivitas, swakarsa, kreativitas dan kesadaran menolong diri sendiri, serta menolak ketergantungan “. Dari uraian tersebut diatas maka peranan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk mewujudkan otonomi desa sangat strategis, baik otonomi asli yang berasal dari asal-usul desa sendiri maupun otonomi yang diperoleh sebagai konsekuensi dari azas desentralisasi. Undang Undang Nomor 32 tahun 2004, khususnya Pasal 12 ayat (1) menekankan bahwa : urusan pemerintah yang diserahkan kepada daerah harus disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan.
Sadu Wasistiono (2002) menegaskan bahwa : “ Pengakuan secara yuridis terhadap kewenangan Desa tidak akan banyak artinya apabila tidak didukung dengan pemberian sumber-sumber pembiayaan serta upaya pemberdayaan secara konseptual dan berkesinambungan. Sebab pada dasarnya pembiayaan akan mengikuti fungsi-fungsi yang dijalankan ( money follows function ) “.
Selanjutnya Sadu Wasistiono mengisyaratkan perlunya dibangun semangat kewirausahan dalam rangka pemberdayaan masyarakat desa, yang bercirikan antara lain :
a) Berorientasi ke masa depan, bukan hanya masa lalu
b) Berani mengambil resiko dengan penuh perhitungan
c) Berani bertanggung jawab terhadap keputusan yang telah diambil tanpa berupaya melimpahkan kesalahan kepada pihak lain
d) Memegang teguh janji
e) Penuh daya kreativitas dan inovai
f) Cenderung berfikir positif
g) Sangat menghargai waktu
Perkembangan baru yang terjadi dapat dijadikan salah satu peluang untuk memperkuat otonomi desa, yakni dengan diserahkan sepenuhnya Pajak Bumi dan Bangunan kepada pemerintah Kabupaten/Kota akan memberikan kesempatan yang lebih luas untuk menentukan kebijakan pengaturan dan pengelolaan dana yang bersumber dari PBB tersebut.
Diharapkan porsi yang lebih besar akan diberikan kepada Desa , karena penguatan oyonomi desa tidak akan terlepas dari kemampuan pendanaan yang dimiliki desa.
Setiap desa memiliki karakteristik, kebutuhan dan kepentingan yang tidak sama, sehingga pemerintah Kabupaten dalam melakukan pembinaan kepada desa tidak dapat dilakukan secara seragam (disamaratakan), tetapi harus dilakukan dengan penuh kearifan. Adagium Jawa yang masih sangat relevan sampai saat ini mengatakan bahwa : “ Desa Mawa Cara, Negara Mawa Tata “.
Sejalan dengan itu Prof, Drs, Prajudi Armosudirdjo, SH dalam salah satu kuliahnya yang disampaikan dihadapan Mahasiswa Institut Ilmu Pemerintahan Jakarta mengatakan, bahwa setiap desa pada dasarnya memiliki “Candra Masyarakat” atau “kepribadian” sendiri-sendiri dan berbeda antara desa yang satu dengan yang lain, Dengan pembinaan yang teoat sasaran kepada masing-masing desa diharapkan penguatan oyonomi desa akan dapat diwujudkan secara bertahap.
Upaya peningkatan kapasitas kelembagaan desa perlu terus dilakukan disamping upaya peningkatan kualitas SDM Aparatur di tingkat desa.
Untuk mewujudkan kemandirian desa sebagai tujuan akhir dari otonomi desa, maka upaya pemberdayaan masyarakat perlu terus dilakukan. Proses pemberdayaan masyarakat desa sangat dipengaruhi danditentukan oleh dua faktor, yakni faktor eksogen dan faktor endogen. Faktor eksogen merupakan faktor yang berasal dari luar masyarakat desa
Daftar Pustaka
Dwiyanto, Agus (ed) (2005) Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Yogyakarta: Gajah Mada Universitiy Press
Nursandi Haranto, SH, M Si (2006), Modul Penerapan Budaya Kerja Aparatur Negara, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara RI, Jakarta
Kinanto, Tasdik (2011), Tak Dapat Ditawar PNS Harus Disiplin, http :/menpan go id.index.php/berita-indwx/745-tasdik-kinanto-tak-dapat-ditawar-pns -harus disiplin
Pedoman Umum Reformasi Birokrasi, (2008) Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, Jakarta
Peraturan Perundang-Undangan
Undang Undang Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/20/M.PAN/
04/2006 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Publik
Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 13 Tahun
2009 Tentang Pedoman Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik
Dengan Partisipasi Masyarakat, Kementerian Negara Pendayagunaan
Aparatur Negara
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 25/KEP/M.PAN/4/
2002 tentang Pedoman Pengembangan Budaya Kerja Aparatur Negara
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
Nomor 39 Tahun 2012 tentang Pedoman Pengembangan Budaya Kerja
27 05 2013 10:15:5