Penguatan Kewenangan KPK dan Keberhasilan Upaya Pemberantasan Korupsi

Kabupaten Banyumas

Penguatan Kewenangan KPK dan Keberhasilan Upaya Pemberantasan Korupsi

 

Drs. Joeliono


Widyaiswara Utama Kantor Pendidikan dan Pelatihan Kabupaten Banyumas

 

Abstrak

 

Kewenangan yang dimiliki KPK selama ini perlu semakin diperkuat dalam rangka keberhasilan upaya pemberantasan     korupsi di Indonesia, meliputi kewenangan dalam penyadapan,   penuntutan dan SP3, dengan dilandasi suatu pemikiran bahwa   korupsi merupakan kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crime)  maka  harus  dihadapi dengan cara  atau kewenangan yang luar  biasa  pula,  disamping  pengalaman  di  lapangan   memberikan   indikasi dengan kewenangan yang dimiliki selama ini KPK telah  menunjukkan kinerja yang luar biasa dalam mengungkap kasus-  kasus korupsi di Indonesia

 

Kata Kunci  :  Revisi, Komisi Pemberantasan Korupsi, wewenang penyadapan, penuntutan, SP3, Dewan Pengawas

     

Dinamika baru yang berkembang akhir-akhir ini memberikan rasa lega dan penuh harapan kepada publik terhadap KPK dalam pemberantasan korupsi, ditanda dengan dikeluarkannya Draft revisi RUU KPK dari PROLEGNAS 2010 – 2014 dan disetujuinya anggaran untuk pembangunan gedung baru KPK oleh DPR, serta dukungan moral yang semakin meningkat terhadap KPK sehingga lebih  menumbuhkan kepercayaan publik terhadap kinerja KPK seperti yang telah ditunjukkan selama ini. Sekalipun demikian upaya untuk terus membenahi secara internal dalam tubuh KPK harus tetap dilanjutkan.

         

Telah menjadi kesepakatan publik khususnya para pegiat anti korupsi bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crime), maka untuk mengatasinya juga harus dihadapi dengan cara-cara yang luar biasa pula, sebagaimana diungkapkan oleh Yogi Suwarno, dkk dalam hasil penelitiannya yang berjudul  ” Strategi Pemberantasan Korupsi ” secara lebih rinci menjelaskan karakteristik perbuatan korupsi, meliputi  : Pertama sebagai  suatu pengkhianatan kepada kepercayaan, kedua penipuan   terhadap  badan  pemerintah,   lembaga  swasta  atau masyarakat umumnya, ketiga dengan sengaja melalaikan kepentingan umum untuk kepentingan khusus, keempat dilakukan   dengan   rahasia,  kecuali  dengan  keadaan   dimana orang-orang berkuasa atau bawahannya menganggap tidak perlu, kelima melibatkan lebih dari satu orang atau pihak, keenam adanya kewajiban  dan  keuntungan bersama dalam bentuk uang atau yang lain, ketujuh terpusatnya kegiatan  (korupsi)  pada mereka yang menghendaki keputusan yang pasti dan mereka yang dapat mempengaruhinya, kedelapan adanya  usaha  untuk  menutupi  perbuatan  korup dalam bentuk-bentuk pengesahan hukum, dan kesembilan menunjukkan  fungsi  ganda yang  kontradiktif  pada mereka yang melakukan korupsi.           

 

Dalam praktek dilapangan menunjukkan bahwa upaya pemberantasan korupsi tidak berjalan dengan mudah, tetapi menghadapi berbagai hambatan maupun tantangan, antara lain dapat dicatat beberapa masalah-masalah dalam upaya pemberantasan korupsi, meliputi penegakkan hukum yang tidak konsisten dan cenderung setengah-setengah. struktur birokrasi yang berorientasi ke atas, termasuk perbaikan birokrasi yang cenderung terjebak pada perbaikan renumerasi tanpa membenahi struktur dan kultur, kurang optimalnya fungsi komponen-komponen pengawas, sehingga mekanisme check and balance tidak berjalan secara optimal, banyaknya celah/lubang-lubang yang dapat dimasuki tindakan korupsi pada sistem politik, hukum, sosial, budaya maupun sistem administrasi negara. ( Corruption as the product of failed, weak and bad systems),  kesulitan dalam menempatkan atau merumuskan perkara, dan adanya pasal-pasal karet, sehingga banyak contoh kasus korupsi yang membuat para aktor dapat mengelak dari jerat hukum, taktik-taktik koruptor untuk mengelabui aparat pemeriksa, masyarakat dan negara yang semakin canggih, rapuhnya landasan moral untuk mengendalikan diri dalam menjalankan amanah yang diemban, dan yang lebih ironis lagi, yakni masih banyaknya aparatur negara baik di lingkungan eksekutif, legislatif maupun yudikatif termasuk elit partai yang terlibat korupsi, yang seringkali membuat gamang aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya. Mestinya aparatur negara dimaksud harus dapat menjadi pelopor dan panutan dalam mengarungi hidup secara jujur, bersih dan menjunjung nilai-nilai luhur dan  agama..

            

Upaya pemberantasan korupsi merupakan pekerjaan besar dan berjangka panjang karena korupsi yang sudah sedemikian “berurat-berakar” didalam segala aspek kehidupan masyarakat dan melibatkan aktor di segala level pemerintahan. Menarik sekali makalah yang ditulis oleh  Said Zainal Abidin berjudul “ Pemberantasan Korupsi Butuh Kreativitas dan Kesabaran “. mengatakan bahwa dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia membutuhkan “ kreativitas dan kesabaran“ sehingga perlu upaya yang terus-menerus dan berkesinambungan, karena pertama kita berhadapan dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih, kedua kita berhadapan dengan kekuasaan dan kekayaan (yang dimiliki para  koruptor) yang besar, ketiga pelaku korupsi umumnya memiliki kekuatan yang besar, dan kekuasan yang besar cenderung untuk korup, karena hampir tidak ada kekuasaan diperoleh seperti ibarat “makam siang gratis”, karena pelaku umumnya orang yang “berduit”, maka setiap penanganan secara hukum tindak pidana korupsi akan berhadapan dengan pengacara-pengacara yang hebat dan seringkali cenderung mencari celah-celah aturan hukum agar bisa melepaskan aktor korupsi dari jerat hukum, keempat keterbatasan waktu dalam pemberantasan korupsi disatu sisi, di sisi yang lain rakyat menghendaki penyelesaian secara cepat dan instan dengan “bahasa rakyat”. Padahal koruptor selalu bertindak dengan perhitungan dan persiapan yang cukup lama, didukung dengan perpaduan kekuasaan dan kekuatan yang dimiliki.

 

Ironisnya beberapa waktu yang lalu berkembang wacana khususnya dikalangan legislatif untuk merevisi Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang memberikan kesan sebagai upaya pelemahan KPK, dengan cara mengebiri kewenangan-kewenangan yang telah dimilki dan merupakan kekuatan utama KPK. 

           

Perlu disadari bahwa  untuk merevisi UU KPK juga tidak sederhana, sebagaimana diutarakan oleh Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saefuddin bahwa setidaknya harus melalui tiga langkah yang harus dilewati. Langkah pertama apakah semua fraksi bersepakat untuk merevisi. Langkah kedua seandainya semua fraksi bersepakat, apakah pemerintah juga menyetujui atau memiliki kehendak yang sama dan langkah ketiga ditangan Mahkamah Konstitusi apakah akan menyetujui atau membatalkan hasil revisi UU tersebut.          

 

Menurut Denny Indrayana, Wakil Menteri Hukum dan HAM, mengatakan bahwa dalam proses legislasi, upaya pelemahan KPK bisa muncul dalam dua modus, yakni constitutional review dan legislative review Undang-Undang KPK. Constitutional review adalah pengujian konstitusionalitas Undang-Undang KPK di Mahkamah Konstitusi. Sedangkan legislative review adalah upaya perubahan Undang Undang KPK di DPR.

 

Moh. Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi mengatakan antara lain bahwa constitutional review Undang-Undang KPK di Mahkamah Konstitusi kurang lebih sudah dilakukan sebanyak 17 kali untuk diuji konstitusionalitasnya berhadapan dengan UUD 1945, terutama yang berkaitan dengan kewenangan strategis KPK, seperti penyadapan, penuntutan dan tidak adanya SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) (SI,02/10/12) (Harian Seputar Indonesia).

           

Secara substantif upaya revisi Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK berfokus pada 4 (empat) hal, yakni penuntutan agar menjadi kewenangan Kejaksaan, Penyadapan oleh KPK harus terlebih dahulu memperoleh ijin dari Ketua Pengadilan, pemberian kewenangan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) kepada KPK dan pembentukan Dewan Pengawas KPK.       

 

Kalau kita cermati justru kewenangan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan terutama penyadapan merupakan kewenangan strategis sekaligus kekuatan dan ”roh” nya KPK. Prestasi KPK dalam upaya pemberantasan korupsi justru karena ditopang dengan kekuatan dan kewenangan strategis yang selama ini telah dimiliki KPK. Sehingga apabila kewenangan yang sudah dimiliki tersebut, khususnya penuntutan dan  pasal-pasal yang mengatur penyadapan ”dikebiri” melalui revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, kemungkinan yang terjadi KPK akan menjadi ”lumpuh” bahkan ”mati suri”.


Pertama kewenangan penyadapan yang telah dimiliki KPK terbukti sangat efektif sekali dalam mengungkap kasus-kasus korupsi, sehingga tidak perlu dipermasalahkan karena dikontrol sangat ketat melalui audit internal KPK sendiri dan secara eksternal oleh Kemenkominfo. Seandainya kegiatan penyadapan harus memperoleh ijin dari Ketua Pengadilan dikhawatirkan akan menjadi tidak efektif, dan bagaimanapun juga karena menyangkut rahasia negara harus kedap rahasia dan sedini mungkin dicegah agar tidak terjadi kebocoran, sehingga pada saat yang sama akan mempersulit operasional KPK dalam menjalankan fungsi penyelidikan terhadap kasus korupsi.

         

Kedua kewenangan penuntutan yang selama ini sudah menjadi salah satu kewenangan KPK, apabila dihilangkan dan menjadi kewenangan kejaksaan, dikhawatirkan KPK akan mengalami kelumpuhan, karena kewenangan penuntutan tidak hanya boleh dimiliki oleh kejaksaan. Justru penyatuan kewenangan untuk penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang secara bersama-sama ada ditangan KPK menjadi kekuatan utama KPK. Dan fakta persidangan menunjukkan bahwa dengan penyatuan kewenangan seperti tersebut diatas membuktikan hampir semua pelaku korupsi (koruptor) yang diajukan ke pengadilan Tipikor tidak bisa lepas dari jerat hukum.

 

Upaya untuk menggugat secara hukum terhadap kewenangan penuntutan yang dimikliki KPK telah dikuatkan konstitusionalitasnya oleh Mahkamah Konstitusi.

          

Ketiga pemberian kewenangan untuk mengeluarkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) kepada KPK. Upaya untuk memberi kewenangan SP3 karena dianggap sebagai bentuk pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) sudah diuji dihadapan Mahkamah Konstitusi, dan sesuai keputusan MK alasan itu ditolak. Fakta selama ini memberikan indikasi bahwa dalam mengambil langkah penyelidikan, penyidikan dan penuntutan KPK tetap menunjukkan kehati-hatian, diperkuat fakta di persidangan bahwa hampir semua terdakwa koruptor tidak bisa lepas dari pemidanaan. Karena dalam proses penetapan tersangka minimal harus didukung 2 alat bukti yang kuat dan tanpa disadari justru karena KPK tidak diberi kewenangan SP3, maka tindakan sewenang-wenang dapat dicegah sedini mungkin.

 

Demikian pula dalam langkah penindakan, agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang yang dapat membahayakan hak-hak dan kebebasan masyarakat, menurut Abdullah Hehamahua dalam Arya Maheka (tanpa tahun) harus berpedoman pada hal-hal sebagai berikut  :

 

  1. Hukuman bagi koruptor harus mengandung unsur jera dan unsur pendidikan. Jadi penjatuhan hukuman bukan sekedar pembalasan kepada atau membuat jera si pelaku.
  1. Penindakan harus bisa mengembalikan uang negara yang dikorup.
  1. Penindakan harus ada prioritas, dimulai dengan instansi penegak hukum,   lembaga pelayanan publik, pejabat tinggi negara dan elit politik.
  1. Penyidik dan penuntut harus memiliki komitmen yang tinggi dalam memberantas korupsi serta dilengkapi dengan peralatan canggih dalam proses penyelidikan dan penyidikan.
  1. Masyarakat harus mendukung proses supremasi hukum.  

 

Keempat, munculnya ide untuk membentuk Dewan Pengawas harus disikapi secara arif, karena KPK sebagai komisi negara yang independen membutuhkan suatu kekuatan ekstra untuk menjaga independensinya.

 

Maka apabila dibentuk Dewan Pengawas justru membuka peluang terjadinya intervensi dari pihak-pihak tertentu yang akan membatasi ruang gerak KPK. Apalagi  selama ini pengelolaan keuangan di KPK sudah diawasi oleh BPK dan aspek kinerja diawasi oleh DPR.

         

Upaya penguatan KPK melalui kewenangan yang sudah dimiliki perlu didukung oleh semua pihak , sehingga KPK benar-benar dapat menjadi ”momok” bagi para koruptor. Mengurangi atau bahkan menghilangkan kewenangan strategis berarti menjadikan KPK menjadi  lembaga ”tanpa taring” atau ”banci”, dan akan memberikan ruang gerak dan para koruptor untuk melakukan aksinya.

           

Dalam konteks upaya pemberantasan korupsi, maka upaya untuk mengembalikan dan membangun kembali kepercayaan masyarakat harus dilakukan, sehingga partisipasi aktif dari masyarakat dapat tumbuh kembali, sebagai salah satu faktor penentu dalam upaya pemberantasan korupsi.

 

Wahana partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi dapat ditempuh melalui beberapa jalur, antara lain pertama masyarakat diberikan akses yang memadai untuk menyampaikan informasi, saran, pendapat dan pengaduan, manakala terjadi dugaan tindak pidana korupsi. Tetapi cara penyampaian harus dilakukan secara tertulis dengan dilandasi rasa tanggung jawab dan iktikad baik. Dalam hal ini penegak hukum atau KPK wajib memberikan pelayanan dan mengklarifikasi informasi, saran dan pendapat dari masyarakat tersebut serta memberikan jawaban dalam kurun waktu 30 hari, kedua mengasingkan dan menolak keberadaan koruptor, melakukan pengawasan dan mendukung terciptanya lingkungan yang anti korupsi, ketiga memberikan perlindungan hukum dan penghargaan kepada masyarakat yang telah memberikan informasi, saran atau pendapatnya secara benar, dan keempat melakukan “gerakan moral” diluar pemerintah dalam rangka penyadaran umat agar kembali kepada nilai-nilai luhur, religius dan nilai nilai kebangsaan.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Maheka, Arya ( tanpa tahun), Mengenali dan Memberantas Korupsi,              Komisi Pemberantasan Korupsi,Jakarta

 

Himpunan Peraturan Perundang-Undangan tentang Pemberantasan Korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia.

 

Harian Suara Merdeka, Periode September – Oktober 2012

 

Harian Seputar Indonesia, 2 Oktober 2012


03 09 2013 11:44:5