Mengefektifkan Metode Andragogi Dalam Proses Pembelajaran Di Lembaga Diklat

Kabupaten Banyumas

Mengefektifkan  Metode AndragogiDalam Proses Pembelajaran Di Lembaga Diklat

 

Drs. Joeliono

Widyaiswara Pada Kantor Diklat Kabupaten Banyumas

 

Abstrak

 

Metode  Andragogi    sebagai  metode  pembelajaran  bagi Orang Dewasa harus dikembangkan dalam lembaga diklat pegawai   negeri   dalam    rangka    keberhasilan proses pembalajaran  dan  tercapainya  target  pembelajaran bagi  peserta.  Sejalan   dengan  proses berjalannya waktu yang ditandai    dengan    semakin   kompleknya   permasalahan yang   dihadapi  oleh  SDM  Aparatur  dalam melaksanakan tugasnya,  khususnya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, maka peningkatan efektivitas metode dimaksud mutlak diperlukanm terutama diarahkan kepada peningkatan kompetensi  widyaiswara  sebagai  fasilitator dalam  proses pembelajaran di diklat

 

Kata Kunci  :  Andragogi, kompetensi

 

Proses pembalajaran di lembaga pendidikan dan pelatihan pegawai negeri merupakan pendidikan bagi orang dewasa, dalam arti dikalangan peserta diklat telah terjadi perubahan dan pergeseran dari sikap ketergantungan kepada orang lain kearah sikap kemandirian, Pembelajaran di diklat dapat diibaratkan bukan mengisi gelas yang kosong tetapi gelas yang telah berisi dengan berbagai macam pengetaguan dan terutama pengalaman yang berbeda-beda diantara para peserta diklat. Mereka sudah banyak menyadari bahwa meraka mampu mengatur dirinya ssendiri dan dalam hal-hal tertentu tidak menghendaki adanya campur tangan dari pihak lain, terutama dalam proses pengambilan keputusan. Mereka tidak ingin diperlakukan seperti anak kecil yang hanya menerima hal-hal bersifat pengarahan, Sehingga pembelajaran bagi orang dewasa menuntut suatu situasi belajar yang cocok dengan konsep diri mereka sebagai pribadi yang mandiri, mereka menuntut diperlakukan dengan penuh penghargaan.terhadap konsep dirinya.

 

Metode ini banyak dikembangkan oleh Malcolm Knowles terutama di daratan Eropa pada lembaga pendidikan dan pelatihan baik bagi karyawan dan pejabat dari kalangan pemerintah maupun swasta. Zainudin Arif (2012) dalam bukunya yang berjudul Andragogi mengatakan bahwa terdapat beberapa implikasi dari metode andragogi antara lain  :

 

Pertama iklim belajar harus diciptakan sesuai dengan keadaan orang dewasa, maksudnya baik tata ruangan maupun peralatan harus disusun sesuai dengan selera orang dewasa dan memberikan kenyamanan bagi peserta. Selain dari pada itu juga harus diciptakan kerjasama saling pengertian dan saling menghargai baik antar peserta maupun antara peserta dengan fasilitator, dalam arti peserta merasa mendapat kebebasan yang cukup untuk mengemukakan pendapatnya tanpa dibayangi rasa takut atau malu. Untuk menciptakan situasi ini peranan fasilitator sangat dominan dalam melakukan pendekatan kepada peserta sehingga terbangun  situasi yang nyaman dan bebas dari sara takut atau malu.

 

Kedua dalam menginventarisir dan mendiagnosis kebutuhan belajar jendaknya peserta dilibatkan secara aktif, sehingga diharapkan akan memberikan motivasi kepada peserta untuk secara bersungguh-sungguh dalam belajar karena sesuai dengan kebutuhan yang diinginkan. Dalam hal ini widyaiswara lebih banyak berperan sebagai fasilitator yang membantu peserta untuk mengungkapkan kebutuhan belajar yang diinginkan.

 

Ketiga dalam membuat menyusun perencanaan diklat, maka peserta harus banyak dilibatkan sehingga agar tersusun rencana diklat yang aspiratif, dalam arti sesuai dengan kebutuhan peserta maupun tuntutan perkembangan jaman. Dalam hal ini widyaiswara hanya berperan sebagai fasilitator dan nara sumber. Dengan melibatkan peserta dalam perencanaan diklat, maka setidaknya akan menumbuhkan rasa tanggung jawab terhadap proses pelaksanaan diklat.

 

Keempat dalam proses pembelajaran di diklat maka pelaksanaan diklat menjadi tanggung jawab bersama antara widyaiswara dengan peserta. Widyaiswara lebih banyak berperan sebagai fasilitator, dalam arti hanya mengatur, mengarahkan dan membimbing agar target diklat dapat tercapai, dengan perkataan lain widyaiswara lebih banyak sebagai nara sumber dan katalis dari pada seorang guru. Sebagai fasilitator maka widyaiswara harus mampu membantu peserta belajar, dan bukan mengejar atau membuat peserta agar belajar.

 

Kelima evaluasi dalam proses belajar secara andragogi pada dasarnya menekankan pada cara evaluasi diri sendiri. Dalam hal ini fasilitator berperan untuk membantu peserta untuk menilai sampai sejayuh mana peserta mengalami perubahan atau kemajuan kompetensi yang dimilikinya.

 

Dari beberapa implikasi dari metode andragogi diatas, maka seorang widyaiswara harus benar-benar memahami akan posisinya sebagai fasilitator, bagaimana menciptakan situasi belajar yang kondusif untuk berlangsungnya proses pembelajaran, bagaimana melibatkan peserta secara aktif baik dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran sehingga tumbuh rasa tanggung jawab bersama baik fasilitator maupun peserta terhadap keberhasilan penyelenggaraan diklat, termasuk bagaimana peserta mampu mengevaluasi dirinya sendiri pasca diklat. Clarke dalam Warsono dan  Hariyanto (2012) mengungkapkan bahwa fasilitator yang baik (good fasilitator) harus memiliki karakteristik pribasi tertentu yang mampu mendorong anggota kelompok untuk berpartisipasi. Karakteriistik pribadi ini termasuk sikap rendah hati, murah hati dan kesabaran yang digabungkan dengan pemahaman, kesediaan menerima dan menyetujui (afirmasi).

 

Seorang fasilitator yang baik harus menguasai beberapa teknik-teknik sebagai berikut  :

 

Pertama, meminta anggota kelompok untuk saling berbagi informasi melalui paparan yang menggunakan gambar-gambar, diagram atau bantuan media visual lain, untuk membantu peserta yang lambat dalam berfirkir.

 

Kedua, membagi kelompok menjadi kelompok-kelompok kecil untuk mendorong keberanian anggota yang pemalu atau bersikap tertutup untuk berpartisipasi.

 

Ketiga, menggunakan diskusi kelompok dan kegiatan kelompok yang menyediakan kesempatan bagi peserta yang lambat belajar untuk aktif terlibat dalam proses pembelajaran,

 

Keempat meminta kelompok untuk menyetujui aturan-aturan dasar permainan seperti tidak melakukan interupsi saat anggota lain sedang berbicara, menghargai pandangan yang berbeda, serta menyepakati keputusan yang telah disepakati oleh sebagian besar anggota kelompok,

 

Kelima memberikan tugas khusus bagi peserta yang dominan sehingga ada ruang dan waktu untuk berpartisipasi bagi yang lain sambil menjaga agar setiap orang terlibat aktif,

 

Keenam menangani konflik dengan cara dan pendekatan yang sensitif, sehingga setiap perbedaan yang ada selalu memiliki nilai dan dihargai.

 

Maka menjadi tantangan bagi seorang widyaiswara disamping penguasaan materi pembelajaran yang prima, juga kemampuan untuk memotivasi peserta diklat agar berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran diawali sejak penyusunan perencanaan sampai evaluasi diklat. Selanjutnya dikatakan oleh Zainudin Arif bahwa sebagai implikasi penting dalam proses belajar mengajar orang dewasa dengan melihat belajar sebagai suatu proses dari dalam adalah metode ataupun teknik belajar yang melibatkan  peserta secara mendalam akan dapat mengasilkan belajar yang paling kuat. Prinsip pelibatan peserta secara aktif dalam proses belajar merupakan inti dalam proses andragogi.

 

Sebagaimana dikatakan oleh Mel Siberman (2010) dalam bukunya Cara Pelatihan dan Pembelajaran Aktif. Diawali dengan pertanyaan bahwa apa yang membuat pelatihan menjadi aktif ?. Ketika pelatihan berjalan dengan aktif, para peserta melakukan hal lebih banyak. Mereka menggunakan otak mereka – mempelajari ide-ide, mengatasi masalah-masalah dan menerapkan yang mereka pelajari. Pelatihan yang aktif berkecepatan tinggi, menyenangkan, membantu dan mengikat secara personal. Seringkali para peserta beranjak dari tempat duduk mereka, bergerak bebas dan berfikir keras.

 

Dalam metode pembelajaran secara andragogik, maka pengalaman dari masing-masing peserta akan menjadi salah satu sumber belajar. Karena bagi orang dewasa pengalaman itu adalah dirinya sendiri, yang pada gilirannya akan mempengaruhi konsep dirinya atas dasar pengalaman yang dialami sepanjang hidupnya. Berbeda dengan anak, pengalaman merupakan stimulus dari luar yang mempengaruhi dirinya dan bukan merupakan bagian dari dirinya.

 

Perbedaan ini akan memberikan dampak lebih lanjut, antara lain pertama bahwa orang dewasa mempunyai kesempatan yang lebih untuk memberi berbagi dan memberikan sumbangan dalam proses belajar peserta lain, kedua orang dewasa mempunyai dasar pengalaman yang lebih banyak dan akan menjadi pengalaman baru bagi peserta lain, karena dalam proses belajar seringkali terdapat dorongan untuk mengambil arti dan makna dari pengalaman masa lampau, ketiga orang dewasa pada umumnya sudah memiliki kebiasaan dan cara berfikir yang sudah mapan, sehingga eringkali bersikap kurang terbuka.

 

Dengan pengalaman yang berbeda-beda antar peserta diklat, maka menurut Zainudin Arif akan membawa beberapa implikasi dalam proses belajar orang dewasa, yakni, pertama karena orang dewasa merupakan sumber belajar, maka dalam praktek pembelajaran di diklat harus menggunakan teknik-teknik tertentu agar proses pembelajaran dapat lebih berkualitas, misalnya metode diskusi, studi kasus, simulasi, role play dan sejenisnya sehingga akan memacu keterlibatan dan partisipasi peserta, kedua dalam proses belajar hendaknya lebih ditekankan pada aplikasi praktis, artinya manakala terdapat konsep-konsep baru harus dijelaskan dengan contoh-contoh pengalaman dari peserta sendiri dan bagaimana peserta menerapkan ilmu yang diperolehnya dalam praktek kehidupan sehari-hari, sehingga proses sosialisasi dan internalisasi akan dapat berjalan dengan lebih baik, ketiga penekanan proses belajar lebih banyak kepada pengalaman masing-masing peserta sendiri, untuk diarahkan pada kemampuannya untuk memikul tanggung jawab terhadap belajarnya sendiri dan kemandirian tanpa diarahkan pihak lain, serta belajar secara bersama dan menganilisis pengalamannya sendiri.

 

Selanjutnya dikatakan bahwa metode andragogi merupakan belajar yang berlangsung dari pengalaman, naik yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya sendiri.  Sebagai implikasi dari penerapan metode andragogi dalam proses pembelajaran di diklat, maka bagi setiap widyaiswara atau fasilitator dituntut untuk dapat memerankan dirinya sebagai fasilitator yang membantu, mengatur dan mengarahkan proses pembelajaran di diklat sesuai dengan kebutuhan nyata dari peserta dallam melaksanakan tugasnya sehari-hari. Selain dari pada itu dalam menyusun kurikulum agar tidak berorientasi pada mata pelajaran tertentu atau spesifik, tetapi lebih banyak kepada masalah (problem oriented) dalam pelaksanaan tugasnya, maka pengalaman belajar juga harus dirancang sesuai dengan masalah yang dihadapi.

 

Disamping itu dalam rangka keberhasilan suatu diklat yang antara lain ditandai dengan perubahan dan peningkatan kompetensi peserta, maka seorang widyaiswara disamping harus menguasai materi pelajaran yang diajarkan, juga harus mempunyai kepekaan terhadap setiap peristiwa yang terjadi baik yang terjadi dalam dirinya atau orang lain serta menganalisisnya, menguasasi teknik-teknik pembelajaran andragogi dan kemampuan untuk memotivasi peserta dalam rangka keterlibatan dan partisipasinya dalam proses pembelajaran di diklat, dan mampu menciptakan  iklim belajar yang nyaman dan menyenangkan, yang meliputi kesiapan penyediaan sarana dan prasarana, pengaturan tata ruang yang nyaman bagi peserta, atau dengan perkataan lain seorang widyaiswara harus memiliki kecerdasan intelektual yang bersumber di otak kiri dan kecerdasan emosional maupun spiritual yang bersumber di otak kanan, Keduanya harus berjalan secara sinergis.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Arif, Zainudin (2012),  Andragogi,  CV. Angkasa, Bandung

 

Silberman, Mel (2010),  Cara Pelatihan dan Pembelajaran Aktif , PT. Indeks, Jakarta

 

Warsono dan Hariyanto (2012), Pembelajaran Aktif, Teori dan Asesmen, PT. Remaja Rosdakarta, Bandung

 


03 09 2013 11:46:2