ETIKA DAN MORAL APARATUR BIROKRASI

Kabupaten Banyumas

ETIKA DAN MORAL APARATUR BIROKRASI

oleh : Goto Kuswanto - Widyaiswara Kantor Diklat Kab. Banyumas

Abstrak

Faktor penting dalam persoalan korupsi adalah factor Etika  sikap dan mental manusia. Oleh karena itu, usaha penanggulangannya harus pula terarah pada okum moral manusia sebagai pengawas aktifitas-aktifitas tersebut. Cara moralistic dapat dilakukan secara umum melalui pembinaan mental dan moral manusia, khotbah-khotbah, ceramah, atau penyuluhan di bidang keagamaan, etika, dan moral. Tidak kurang pentingnya adalah pendidikan moral di sekolah-sekolah formal sejak jenjang pendidikan moral di sekolah-sekolah formal sejak jenjang pendidikan dasar hingga perguruan tinggi dengan memasukkan pelajaran-pelajaran etika dan moral dalam kurikulum pendidikan. Semuanya bertujuan untuk membina moral individu supaya tidak mudah terkena bujukan korupsi dan penyalahgunaan-penyalahgunaan kedudukan di mana pun dia berfungsi dalam masyarakat. Fenomena korupsi dan berbagai dampak yang ditimbulkannya telah menegaskan kembali bahwa korupsi merupakan tindakan buruk yang dilakukan oleh aparatur birokrasi serta orang-orang yang berkompeten dengan birokrasi. Pada intinya, korupsi adalah perwujudan immoral dari dorongan untuk memperoleh sesuatu dengan metode pencurian dan penipuan.

A. Pendahuluan

Etika berasal dari bahasa Yunani : ethos, yang artinya kebiasaan atau watak, sedangkan moral berasal dari bahasa Latin : mos (jamak: mores) yang artinya cara hidup atau kebiasaan. Dari istilah ini muncul pula istilah morale atau moriil, tetapi artinya sudah jauh sekali dari pengertian asalnya. Moril bias berarti semangat atau dorongan batin. Di samping itu terdapat istilah norma yang berasal dari bahasa Latin (norma: penyiku atau pengukur), dalam bahasa Inggris norma berarti aturan atau kaidah. Dalam kaitannya dengan perilaku manusia, norma digunakan sebagai pedoman atau haluan bagi perilaku yang seharusnya dan juga untuk menakar atau menilai sebelum ia dilakukan.

Etika merujuk kepada dua hal. Pertama, etika berkenaan dengan disiplin ilmu yang mempelajari nilai-nilai yang dianut oleh manusia beserta pembenarannya dan dalam hal ini etika merupakan salah satu cabang filsafat. Kedua, etika merupakan pokok permasalahan di dalam disiplin ilmu itu sendiri yaitu nilai-nilai hidup dan hukum-hukum yang mengatur tingkah laku manusia. Moral, dalam pengertiannya yang umum menaruh penekanan kepada karakter dan sifat-sifat individu yang khusus, di luar ketaatan kepada peraturan. Oleh karena itu, moral merujuk kepada tingkah laku yang bersifat spontan seperti rasa kasih, kemurahan hati, kebesaran jiwa, dan sebagainya, yang kesemuanya tidak terdapat dalam peraturan-peraturan hukum.

Dalam kasus yang diangkat dari Laporan wartawan KOMPAS tersebut adalah mengenai pakta integritas yang dilakukan oleh pada pejabat eselon II di provinsi DI Yogyakarta. Pakta integritas tersebut dilakukan dalam rangka untuk mencegah korupsi di birokrasi, seperti korupsi administrasi dan waktu, pengadaan barang dan jasa public, korupsi dalam pelayanan public dan penggunaan inventaris dinas.

Korupsi dan istilah yang lainnya di Negara kita ini memang sering dan banyak sekali terjadi, dari hal-hal yang kecil sampai hal yang besar dapat dijadikan ajang untuk memenuhi keinginan dan keuntungan sebagian kecil orang yang dapat merugikan sebagian besar orang. Orang yang melakukan korupsi tersebut sama sekali tidak perduli dengan keadaan orang lain yang dirugikan karena mereka hanya mementingkan kepentingan mereka sendiri. Kegiatan korupsi tidak selalu identik dengan uang karena kegiatan korupsi bias juga dilakukan dengan cara penyalahgunaan barang-barang inventaris umum, korupsi administrasi dan waktu, pengadaan barang dan jasa public atau korupsi pelayanan public. Sebenarnya akar masalah dari mengapa korupsi tersebut bias terjadi adalah karena kurang sadarnya masyarakat untuk tidak menyalahgunakan barang-barang kepentingan umum yang digunakan untuk kepentingan sendiri. Pada dasarnya mereka sebenarnya mengetahui bahwa inventaris umum tidak bisa digunakan untuk kepentingan pribadi tapi mereka sendiri pula yang pura-pura tidak mengetahuinya. Itulah mengapa etika dan moral dalam kejadian seperti ini sangat diperlukan khususnya pada para pejabat-pejabat eselon 2.

B. Moral sebagai Sebuah Sistem Nilai

Telah disepakati bahwa moral merupakan daya dorong internal dalam hati nurani manusia untuk mengarah kepada perbuatan-perbuatan baik dan menghindari perbuatan-perbuatan buruk. Oleh sebab itu, unsure filosofis yang menentukan rangsangan-rangsangan psikologis tersebut banyak kaitannya dengan nilai (value) yang dianut oleh seseorang. Secara sederhana, nilai dapat dirumuskan sebagai objek dari keinginan manusia. Nilai sebagai pendorong utama bagi tindakan manusia dari pelbagai macam nilai yang mempengaruhi kompleksitas tindakan manusia, moore membedakan enam macam nilai :

  1. Membedakan antara nilai primer, sekunder, dan tertier.

Apabila seseorang sangat mencintai perdamaian dan punya kecenderungan untuk bertindak kearah itu, hal tersebut adalah suatu nilai primer. Akan tetapi, jika dia punya harapan, misalnya dengan menolak untuk menjadi tentara, ia memiliki perdamaian dengan keyakinan bahwa tidak akan ada perang, atau sekadar punya rasa puas bila perdamaian itu terwujud, sehingga dia hanya memiliki nilai sekunder atau bahkan tertier. Rasa puas atau kesenangan (pleasure) dalam hal ini merupakan penilaian yang bersifat sekunder.

  1. Terdapat perbedaan antara nilai semu (quasi value) dan nilai riil (real value). Seseorang memiliki nilai semu apabila dia bertindak seolah-olah berpedoman kepada suatu nilai sedangkan ia sesungguhnya tidak menganut nilai tersebut. Contohnya, seorang yang membenci perang karena melihat kenyataan bahwa perang mengakibatkan luka,cacat, dan kematian orang lain, tetapi dia tidak sepenuhnya membenci bentuk-bentuk konflik atau kompetisi sebab ia masih menyukai pertandingan tinju atau persaingan ekonomis. Dalam hal ini, ia sekadar memiliki rasa “humanis”. Pandangan orang ini akan berbeda dengan orang yang benar-benar menginginkan adanya perdamaian. Dengan demikian, untuk kasus ini, nilai riil berlaku jika orang benar-benar menginginkan adanya perdamaian.
  2. Ada nilai yang terbuka dan ada pula yang tertutup. Suatu nilai dikatakan terbuka bila tidak terdapat rentang waktu yang membatasinya. Sebaliknya, nilai yang tertutup memiliki batas waktu.
  3. Pembedaan dapat digariskan antara nilai-nilai negatife dan positif. Suatu nilai negative terjadi bila proposisi yang mendasari suatu keinginan bersifat negative, kebalikan dari nilai negative adalah nilai positif, sebagai contoh kita bias melihatnya dari moralitas yang punya ciri khas adanya larangan dan anjuran.
  4. Suatu nilai dapat pula dibedakan menurut orde atau urutannya. Maka terdapat nilai orde pertama, orde kedua, atau orde-orde selanjutnya yang lebih tinggi. Nilai pertama terjadi jika benar-benar tidak ada nilai yang lainnya. Nilai orde kedua terjadi jika tidak terdapat nilai lain kecuali nilai orde pertama tadi, demikian seterusnya.
  5. Perbedaan yang cukup sering disebutkan dalam kaitannya dengan nilai ialah pembedaan antara nilai relative dan nilai absolute. Suatu nilai bersifat relative bila merujuk kepada orang yang memiliki spesifikasi nilai tersebut. Kebalikannya adalah nilai absolute, tidak merujuk kepada orang dan dianut secara mutlak. Pembedaan ini berkaitan dengan penilaian egoism dan altruisme.

Dalam masalah yang sedang diangkat mengenai penandatangan pakta integritas di Yogyakarta dapat dimasukkan dalam nilai nomor ke-4 yaitu Pembedaan dapat digariskan antara nilai-nilai negatife dan positif. Suatu nilai negative terjadi bila proposisi yang mendasari suatu keinginan bersifat negative, kebalikan dari nilai negative adalah nilai positif, sebagai contoh kita bias melihatnya dari moralitas yang punya ciri khas adanya larangan dan anjuran. Penandatangan pakta integritas adalah bertujuan untuk mencegah terjadinya korupsi. Korupsi menurut pengertian harfiah adalah penyimpangan dari kesucian (profanity), tindakan tak bermoral, kebejatan, kebusukan, kerusakan, ketidakjujuran, atau kecurangan. Dengan demikian, ia punya konotasi adanya tindakan-tindakan hina, fitnah, atau hal-hal buruk lainnya.

Kegiatan korupsi dapat dikatakan sebagai kegiatan negative apabila tujuan korupsi adalah hanya untuk kepentingan pribadi orang tetapi bisa dikatakan positif apabila tujuannya adalah untuk kepentingan masyarakat. Apabila seorang pejabat misalnya menggunakan inventaris atau barang milik dinas untuk kepentingan pribadi hal tersebut dapat juga disebut korupsi karena inventaris dinas seperti misalnya mobil dinas seharusnya hanya dipakai untuk kepentingan dinas saja tidak untuk digunakan di luar dinas apabila kalau bahan bakar yang digunakan juga diambil dari dana kedinasan. Oleh karena sering terjadinya penyompangan-penyimpangan tersebut di kalangan para pejabat-pejabat eselon maka di Provinsi DI Yogyakarta perlu diadakan penandatangan pakta integritas untuk mencegah korupsi hal-hal yang berhubungan dengan administrasi dan inventaris dinas.

C. Korupsi

Hal yang perlu diperhatikan dalam pencegahan tindakan korupsi adalah dengan memperbaiki etika dan moral dari para pejabat-pejabat yang berpotensi atau memiliki sifat melakukan korupsi. Karena etika dan moral adalah yang mendasari tingkah laku manusia dalam bergaul dan bertindak. Seperti dijelaskan pada bab sebelumnya mengenai etika dan moral yaitu Etika merupakan pokok permasalahan di dalam disiplin ilmu itu sendiri yaitu nilai-nilai hidup dan hukum-hukum yang mengatur tingkah laku manusia. Moral merujuk kepada tingkah laku yang bersifat spontan seperti rasa kasih, kemurahan hati, kebesaran jiwa, dan sebagainya, yang kesemuanya tidak terdapat dalam peraturan-peraturan hukum.

Tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan sebagai korupsi :

  1. Setiap perbuatan yang dilakukan oleh siapapun juga untuk kepentingan diri sendiri, untuk kepentingan orang lain, atau untuk kepentingan suatu badan yang langsung menyebabkan kerugian bagi keuangan dan perekonomian negara,
  2. Setiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara ataupun dari suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan Negara atau daerah yang dengan mempergunakan kesempatan atau kewenangan atau kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh jabatan, langsung atau tidak langsung membawa keuntungan atau material baginya.

Setelah mengetahui tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan sebagai korupsi maka dapat diuraikan unsur-unsur dominan yang melekat pada tindakan korupsi :

  1. Setiap korupsi bersumber pada kekuasaan yang didelegasikan (delegated power, derived power). Pelaku-pelaku korupsi adalah orang-orang yang memperoleh kekuasaan atau wewenang dari perusahaan atau negara dan memanfaatkannya untuk kepentingan-kepentingan lain. Korupsi mengandung arti bahwa yang hendak diubah atau diselewengkan adalah keputusan-keputusan pribadi yang menyangkut urusan-urusan perusahaan atau negara tadi. Jadi yang menjadi persoalan adalah bahwa akibat-akibat buruk dari korupsi ditanggung oleh masyarakat, perusahaan atau Negara, bukan oleh si pelaku korupsi.
  2. Korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari pejabat-pejabat yang melakukannya. Ketika seorang pejabat disogok untuk mengeluarkan izin pendirian pasar swalayan oleh seorang pengusaha, misalnya, perbuatan mengeluarkan izin itu merupakan fungsi dari jabatannya sekaligus kepentingan pribadinya. Pengusaha yang mengajukan permohonan izin mungkin telah menggunakan jalur hokum yang berlaku, tetapi penyogokan yang dilakukannya jelas merupakan tindakan di luar hokum sebab ia telah mempengaruhi keputusan secara tidak adil dan mengurangi kesempatan pengusaha-pengusaha lain untuk memperoleh hak mereka.
  3. Korupsi dilakukan dengan tujuan untuk kepentingan pribadi, klik atau kelompok. Oleh karena itu, korupsi akan senantiasa bertentangan dengan kepentingan organisasi, kepentingan negara atau kepentingan umum.
  4. Orang-orang yang mempraktikan korupsi biasanya berusaha untuk merahasiakan perbuatannya. Mungkin saja korupsi sudah begitu menjarah sehingga banyak sekali orang yang terlibat korupsi. Akan tetapi pada keadaan seperti ini pun setidak-tidaknya motif korupsi tetap disembunyikan. Ini disebabkan karena setiap tindakan korupsi pada hakikatnya mengandung unsur penipuan dan bertentangan dengan hokum.
  5. Korupsi dilakukan secara sadar dan disengaja oleh para pelakunya. Dalam hal ini tidak ada keterkaitan antara tindakan korup dengan kapasitas rasional pelakunya. Dengan demikian korupsi jelas dapat dibedakan dari mal-administrasi atau salah urus (mis-management).

Setelah kita mengetahui unsur-unsur yang melekat pada korupsi dapat dikemukakan beberapa landasan untuk menangkalnya yaitu :

1. Cara sistemik structural

Korupsi dapat bersumber dari kelemahan-kelemahan yang terdapat pada system politik dan system administrasi negara dengan birokrasi sebagai perangkat pokoknya. Untuk itu yang harus dilakukan adalah mendayagunakan segenap suprastruktur politik maupun infrastruktur politik pada saat yang sama membenahi birokrasi sehingga lubang-lubang yang dapat dimasuki tindakan-tindakan korup dapat ditutup.

2. Cara Abolisionistik

Cara ini berangkat dari asumsi bahwa korupsi adalah suatu kejahatan yang harus diberantas dengan terlebih dahulu menggali sebab-sebabnya dan kemudian penanggulangan diarahkan pada usaha-usaha menghilangkan sebab-sebab tersebut. Oleh karena itu, jalan yang harus ditempuh adalah dengan mengkaji permasalahan-permasalahan yang tengah dihadapi masyarakat, mempelajari dorongan-dorongan individual yang mengarah ke tindakan-tindakan korupsi, meningkatkan kesadaran hokum masyarakat, serta menindak orang-orang yang korup berdasarkan kodifikasi hukum yang berlaku. Jadi dalam menangkal korupsi kecuali menggunakan titik tekan metode kuratif, cara ini juga diharapkan menjadi perangkat preventif dengan menggugah ketaatan pada hokum. Yang perlu mendapat perhatian dalam hal ini ialah bahwa hokum hendaknya ditegakkan secara konsekuen, aparat harus menindak siapa saja yang melakukan korupsi tanpa pandang bulu. Pemerintah dan masyarakat, melalui lembaga-lembaga yang ada, harus berani melakukan pembersihan di dalam tubuh aparat pemerintahan sendiri yaitu pembersihan terhadap aparatur-aparatur yang tidak jujur.

3. Cara Moralistik

Faktor penting dalam persoalan korupsi adalah factor sikap dan mental manusia. Oleh karena itu, usaha penanggulangannya harus pula terarah pada faktor moral manusia sebagai pengawas aktifitas-aktifitas tersebut. Cara moralistic dapat dilakukan secara umum melalui pembinaan mental dan moral manusia, khotbah-khotbah, ceramah, atau penyuluhan di bidang keagamaan, etika, dan hukum. Tidak kurang pentingnya adalah pendidikan moral di sekolah-sekolah formal sejak jenjang pendidikan moral di sekolah-sekolah formal sejak jenjang pendidikan dasar hingga perguruan tinggi dengan memasukkan pelajaran-pelajaran etika dan moral dalam kurikulum pendidikan. Semuanya bertujuan untuk membina moral individu supaya tidak mudah terkena bujukan korupsi dan penyalahgunaan-penyalahgunaan kedudukan di mana pun dia berfungsi dalam masyarakat.

Upaya-upaya untuk menangkal korupsi akan kurang berhasil bila ancangan yang dilakukan hanya sepotong-sepotong. Oleh karena itu, upaya tersebut hendaknya dimulai secara sistematis, melibatkan semua unsur masyarakat. Akar dari kedurjanaan itu adalah tidak adanya usaha bahu-membahu antara masyarakat dan pemerintah dan perasaan terlibat dengan kegiatan-kegiatan pemerintah baik di kalangan pegawai negeri maupun dalam masyarakat pada umumnya.

Douglas mengemukakan bahwa jenis-jenis kebijakan pemerintah yang rentan terhadap penyelewengan administratif antara lain :

  1. Kebijakan pemerintah yang membiarkan kontrak-kontrak besar berisi syarat-syarat yang dapat menguntungkan para kontraktor;
  2. Ketika pemerintah memungut pajak yang sangat tinggi sehingga mendorong para pengusaha untuk menyuap aparat perpajakan sebagai imbalan pengurangan pajak.
  3. Penetapan tariff untuk industry-industri tertentu seperti kereta api, listrik, dan telepon, juga harga-harga komoditas tertentu. Ini mendorong perusahaan-perusahaan besar dan harga;
  4. Jika pemerintah menggunakan kekuasaan untuk memilih pihak-pihak yang boleh memasuki suatu industry, semisal pertambangan dan peleburan logam, pertelevisian, atau jasa angkutan umum;
  5. Tatkala pemerintah memberikan pinjaman atau pembebasan pajak untuk pabrik atau peralatan jangka pendek;
  6. Apabila bagian-bagian tertentu dari birokrasi pemerintah memiliki kekuasaan untuk mengalokasikan bahan-bahan mentah;
  7. Pada saat subsidi pemerintah dibayarkan untuk proyek-proyek umum, baik secara terbuka maupun secara diam-diam.

Faktor-faktor administrative yang disebutkan ini tampaknya dihubungkan dengan masalah-masalah korupsi yang mengarah kepada imbalan-imbalan material. Namun, jika membicarakan birokrasi di Indonesia, sesungguhnya masih terdapat aspek-aspek disfungsi birokrasi yang lain yang membuat birokrasi tidak tanggap terhadap kebutuhan masyarakat. Disfungsi birokrasi itu antara lain disebabkan oleh tidak jelasnya tujuan yang hendak dicapai, penetapan struktur terlebih dulu ketimbang perincian fungsinya dikarenakan orientasi yang berlebihan pada otoritas dan kekuasaan, serta spesialisasi aparat atau pegawai yang tidak disesuaikan, serta spesialisasi aparat atau pegawai yang tidak disesuaikan dengan fungsi dan struktur yang ada akibat adanya nepotisme, patronase, dan spoil system.

D. Pengendalian Diri dan Pelaksanaan Amanah

Uraian mengenai fenomena korupsi dan berbagai dampak yang ditimbulkannya telah menegaskan kembali bahwa korupsi merupakan tindakan buruk yang dilakukan oleh aparatur birokrasi serta orang-orang yang berkompeten dengan birokrasi. Pada intinya, korupsi adalah perwujudan immoral dari dorongan untuk memperoleh sesuatu dengan metode pencurian dan penipuan. Sebagai bentuk kejahatan ia tak ubahnya seperti perampasan yang disertai kekerasan, dan bahkan menyadari bahwa dirinya telah kecolongan. Sementara itu, ekses pita-merah untuk sebagian ternyata disebabkan oleh sikap mementingkan diri sendiri (selfish) diantara administrator dan aparatur birokrasi dalam menjalankan tugas-tugas publiknya.

Pada dasarnya korupsi terjadi lantaran seseorang memperoleh kekuasaan alihan untuk melakukan tindakan-tindakan yang menentukan arah kebijakan organisasi atau menentukan hajat hidup orang lain baik sebagai pribadi maupun sebagai kelompok. Orang yang korup adalah orang yang mengambil inisiatif untuk melakukan tindakan korup, memelihara pola-pola perilaku korup, atau menciptakan kondisi yang membuka peluang bagi tindakan korup. Argumentasi ini penting untuk menegaskan kembali bahwa pada hakikatnya korupsi merupakan sisi buruk perilaku manusia. Dalam hal korupsi yang mengambil bentuk penyuapan, misalnya, mungkin akan muncul pertanyaan mengenai siapa yang sesunnguhnya bertindak korup.

Setiap orang memiliki kesadaran moral, betapapun kecilnya. Dan setiap orang pasti tahu bahwa pola perilaku yang mengarah kepada korupsi adalah bertentangan dengan kesadaran moral tersebut. Kendati demikian, toh cukup banyak orang yang lebih sering menggunakan cara-cara korup ketimbang cara-cara lainnya. Oleh karena itu, persoalan yang mengusik adalah mengapa orang terdorong untuk melakukan korupsi dan mengapa orang mesti memilih cara-cara korup sedangkan cara-cara lain masih memungkinkan.

Salah satu cara untuk mencegah nafsu korupsi dari sisi psikologis adalah dengan mensosialisasikan nilai-nilai moral kepada pejabat-pejabat di seluruh jenjang administrasi Negara, terutama yang menyangkut ideology pengendalian diri. Dan dalam konsepsi P4, gagasan pengendalian diri inilah yang memang menjadi pangkal tolak penghayatan dan pengalaman Pancasila. Gagasan ini bermula dari kenyataan bahwa dalam mempertahankan hidup dan mengejar kehidupan yang lebih baik manusia mustahil dapat mutlak berdiri tanpa bantuan atau kerjasama dengan orang lain.

Dengan demikian sikap hidup manusia yang mampu mengendalikan diri dapat dilihat dari cirri-ciri sebagai berikut.

  1. Kepentingan pribadinya tetap diletakkan dalam kerangka kesadaran kewajibannya sebagai makhluk social dalam kehidupan masyarakatnya.
  2. Kewajiban terhadap masyarakat dirasakan lebih besar dari kepentingan pribadinya.

Konsep pengendalian diri sama sekali bukan merupakan konsep yang absurd kalau diingat bahwa salah satu kebutuhan mendasar bagi setiap manusia adalah keinginan untuk hidup berkelompok sebagai makhluk social yang sudah tentu membutuhkan kerja sama dengan orang lain. Korupsi pada dasarnya merupakan tindakan yang menyalahi kerja sama dalam konteks yang lebih besar yaitu kerja sama antar rakyat suatu bangsa untuk membangun dan mencapai tujuan bersama melalui organisasi yang disebut negara.

Salah satu unsur penting dalam pelaksanaan amanah ialah kejujuran dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan kepada seorang pejabat public. Andaikata para pejabat public menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, penyelewengan dan penyimpangan akan dapat segera diketahui sehingga tidak sempat menular. Intrik-intrik yang dihembuskan oleh pihak-pihak luar tidak akan mempan karena para aparatur sudah saling mempercayai satu sama lain berkat kejujuran mereka yang sudah benar-benar teruji Para pegawai terjaga dari perbuatan-perbuatan buruk dan penyelewengan jabatan karena mereka tidak gampang silau oleh kemewahan-kemewahan material yang dijanjikan oleh pihak-pihak tertentu yang bermaksud buruk. Bila aparatur pemerintah tulus dan jujur, pejabat-pejabat yang mengabdi masyarakat akan bekerja dengan tenang dan para koruptor atau kaum oportunis akan lari bersembunyi, tetapi bila aparatur tidak jujur maka orang jahat akan lebih leluasa memakai cara-cara mereka yang busuk dan orang-orang yang setia akan tersisih. Oleh karena itu, aparatur yang bersih merupakan modal utama bagi pemerintahan dan birokrasi yang tangguh. Jika suatu jajaran pemerintah sudah benar-benar bersih dan jujur, usaha-usaha untuk memaksakan niat yang jahat atau kepentingan pribadi dari seseorang yang berkedudukan tinggi akan sama halnya dengan usaha memecah karang dengan sebutir telur busuk atau menyulut api di dalam air yang tenang.

Arogansi dan pengingkaran tanggung jawab dalam pelaksanaan layanan umum tidak perlu terjadi seandainya para pejabat publik menyadari kedudukannya sebagai pelayan masyarakat. Jika para pejabat itu memandang tugas-tugas kedinasan sebagai amanah, mereka akan melihat kedudukannya seperti halnya fungsi-fungsi kemasyarakatan yang lain, seperti halnya fungsi-fungsi kemasyarakatan yang lain, seperti halnya seorang dokter yang melayani pasien-pasiennya, pengusaha yang melayani kebutuhan-kebutuhan pokok masyarakat, atau petani yang menggarap sawahnya untuk kemaslahatan sesame manusia. Sikap-sikap takabur sama sekali tidak diperlukan karena memang tidak ada manfaatnya bagi siapa pun. Interaksi antara masyarakat dan birokrasi public public akan berjalan secara intensif karena masing-masing unsure sudah saling menyadari kewajibannya dalam rangka mencapai tujuan bersama melalui negara sebagai wahana utamanya.

E. KESIMPULAN

Berdasarkan permasalahan yang diangkat mengenai pelaksanaan penandatanganan pakta integritas dan penjelasan tentang korupsi dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

  1. Setiap korupsi bersumber pada kekuasaan yang didelegasikan (delegated power, derived power). Pelaku-pelaku korupsi adalah orang-orang yang memperoleh kekuasaan atau wewenang dari perusahaan atau negara dan memanfaatkannya untuk kepentingan-kepentingan lain.
  2. Korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari pejabat-pejabat yang melakukannya.
  3. Korupsi dilakukan dengan tujuan untuk kepentingan pribadi, klik atau kelompok. Oleh karena itu, korupsi akan senantiasa bertentangan dengan kepentingan organisasi, kepentingan negara atau kepentingan umum.
  4. Orang-orang yang mempraktikan korupsi biasanya berusaha untuk merahasiakan perbuatannya.
  5. Korupsi dilakukan secara sadar dan disengaja oleh para pelakunya.

Solusi pencegahan Cara-cara dalam menangkal praktek korupsi adalah

1. Cara sistemik structural

Korupsi dapat bersumber dari kelemahan-kelemahan yang terdapat pada system politik dan system administrasi negara dengan birokrasi sebagai perangkat pokoknya.

2. Cara Abolisionistik

Cara ini berangkat dari asumsi bahwa korupsi adalah suatu kejahatan yang harus diberantas dengan terlebih dahulu menggali sebab-sebabnya dan kemudian penanggulangan diarahkan pada usaha-usaha menghilangkan sebab-sebab tersebut.

3. Cara Moralistik

Faktor penting dalam persoalan korupsi adalah factor sikap dan mental manusia. Oleh karena itu, usaha penanggulangannya harus pula terarah pada faktor moral manusia sebagai pengawas aktifitas-aktifitas tersebut.

4. Salah satu cara untuk mencegah nafsu korupsi dari sisi psikologis adalah dengan mensosialisasikan nilai-nilai moral kepada pejabat-pejabat di seluruh jenjang administrasi Negara.

 

DAFTAR PUSTAKA

 Hersey, Paul & Blanchard, Ken. 1982. Manajemen Perilaku Organisasi : PendayagunaanSumber Daya Manusia Edisi Keempat, Erlangga. Jakarta.

Kumorotomo, Wahyudi. 1992. Etika Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta.

 


26 08 2014 14:01:20