MEMBANGUN NILAI BUDAYA KETERBUKAAN DALAM PELAYANAN PUBLIK ( Tinjauan Kasus Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Daerah )

PERUBAHAN POLA PIKIR UNTUK
MEMBANGUN NILAI BUDAYA KETERBUKAAN
DALAM PELAYANAN PUBLIK
( Tinjauan Kasus Penyelenggaraan Pelayanan Publik
di Daerah )
Oleh :
Drs. JOELIONO
WIDYAISWARA UTAMA
KANTOR DIKLAT KABUPATEN BANYUMAS
KANTOR PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
KABUPATEN BANYUMAS
2013
Perubahan Pola Pikir Untuk Membangun Nilai Budaya Keterbukaan Dalam Pelayanan Publik
Drs. Joeliono
Abstrak
Untuk membangun nilai budaya keterbukaan dalam pelayanan
Publik sebagai salah satu nilai budaya kerja organisasi pemerintah,
maka diperlukan perubahan pola pikir dilingkungan aparatur negara
Sebagai upaya terjadinya perubahan pola pikir di lingkungan aparatur negara perlu ditempuh dengan menerapkan berbagai konsep dan metode untuk terwujudnya pelayanan publik yang berkualitas, transparan dan akuntabel
Kata Kunci : Pola Pikir, Nilai Budaya Keterbukaan, Good Governance,Pelayanan Publik, Citizen’s Charter.
Latar Belakang
Dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/15/M.PAN/7/2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi dijelaskan bahwa salah satu tujuan umum Reformasi Birokrasi adalah membangun/membentuk profil dan perilaku aparatur negara dengan kemampuan memberikan pelayanan yang prima. Maka nampak bahwa pelayanan publik mempunyai peranan yang sangat strategis sebagai salah satu fungsi pemerintah disamping regulasi dan pemberdayaan. Pelayanan Publik merupakan suatu sistem, dalam arti masyarakat sebagai pemohon atau pengguna layanan harus diberikan akses yang seluas-luasnya berkaitan dengan proses pemecahan masalah dan pengambilan keputusan dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Prinsip keterbukaan mempunyai peranan penting untuk terbangunnya pelayanan publik yang brkualitas.
Bertitik tolak dari Pedoman Umum Reformasi Birokrasi sebagaimana tertuang Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/15/M.PAN/7/2008 juga dijelaskan bahwa tujuan khusus yang ingin dicapai adalah Birokrasi yang transparan (terbuka) dan dapat memberikan pelayanan prima kepada masyarakat, dengan harapan sasaran umum dari Reformasi Birokrasi yakni terjadinya perubahan pola pikir (mindset) dan budaya kerja (culture set) serta sistem manajemen pemerintahan.
Prinsip keterbukaan harus menjadi salah satu landasan utama dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan, dan kita sadari bersama bahwa tugas pelayanan publik itu sendiri merupakan salah satu tugas pokok dari Pemerintah. .
Dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 25/KEP/M.PAN/4/2002 tentang Pedoman Pengembangan Budaya Kerja Aparatur Negara telah mengisyaratkan bahwa nilai budaya keterbukaan harus dapat mewarnai perilaku aparatur negara dalam rangka peningkatan kinerja serta kualitas pelayanan publik secara berkelanjutan yang berorientasi pada terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik (Good Governance) sebagai visi dari reformasi birokrasi.
Maka upaya untuk mewujudkan keterbukaan dalam penyelenggaraan pelayanan publik merupakan suatu keharusan dalam rangka terselenggaranya pelayanan publik yang terbuka, akuntabel, efektif dan non-diskriminatif.
Penerapan nilai budaya keterbukaan juga akan mendorong peningkatan peran serta masyarakat dalam memonitor dan mengevaluasi penyelenggaraan pelayanan publik.
Penulisan artikel ini dimaksudkan untuk mengkaji perlunya perubahan pola pikir dilingkungan aparatur negara dengan menrapkan beberapa konsep dan metode untuk terwujudnya nilai budaya keterbukaan dalam pelayanan publik.
Perubahan Pola Pikir Di Lingkungan Aparatur Negara
Harsanto Nursadi dalam Modul ” Penerapan Budaya Kerja Aparatur Negara (2006) ” menjelaskan bahwa dalam rangka menyusun strategi pelaksanaan budaya kerja harus diawali dengan strategi perubahan mindsetting (pola pikir), sikap dan perilaku, yang meliputi esensi penataan pola pikir dan strategi pencapaian penataan pola pikir.
Tasdik Kinanto dalam salah satu tulisannya lebih menegaskan lagi bahwa hakekat reformasi birokrasi adalah perubahan pola pikir dan budaya kerja aparatur negara. Selanjutnya dikatakan pula bahwa untuk itu, setiap instansi pemerintah perlu mengembangkan budaya kerja di lingkungannya masing-masing. ”Perubahan pola pikir dan peningkatan budaya kerja pada dasarnya merupakan inti dari reformasi birokrasi. Aparatur negara harus melayani, bukan dilayani
Dari uraian diatas nampak bahwa untuk terwujudnya perubahan budaya kerja harus diawali perubahan pola pikir di lingkungan aparatur negara dan pada saat yang sama akan terlihat pada perubahan perilaku aparatur negara dalam melaksanakan tugas pelayanan publik sehari-hari.
Pola pikir dibentuk dan dibangun dalam proses waktu yang cukup lama sejak manusia lahir dan dipengaruhi oleh banyak faktor terutama pengaruh lingkungan kerja akan memberikan kontribusi yang sangat signifikan untuk terbentuknya pola pikir aparatur negara.
Konsep Keterbukaan Dalam Pelayanan
Dalam Penjelasan Undang Undang Nomer 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, khususnya Pasal 4 huruf h memberikan batasan tentang prinsip keterbukaan dalam pelayanan publik, antara lain dijelaskan bahwa setiap penerima pelayanan dapat dengan mudah mengakses dan memperoleh informasi mengenai pelayanan yang diinginkan.
Menurut BAPPENAS prinsip keterbukaan sedikitnya memiliki 2 (dua) Indikator Minimal, meliputi :
1. Tersedianya informasi yang memadai pada setiap proses penyusunan
dan implementasi kebijakan publik
2. Adanya akses pada informasi yang siap, mudah dijangkau, bebas
diperoleh dan tepat waktu dalam rangka evaluasi dan monitoring
penyelenggaraan pemerintahan.
Selanjutnya dalam Undang Undang dimaksud, khususnya Pasal 1 Angka (1) dikatakan bahwa:pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.
Konsep keterbukaan dalam pelayanan menunjuk pada suatu keadaan dimana segala aspek dari proses penyelenggaraan pelayanan bersifat terbuka dan dapat di akses dengan mudah oleh para pengguna pelayanan dan stakeholders yang membutuhkan.
Jika segala aspek penyelenggaraan pelayanan, khususnya yang berkaitan dengan hak dan kewajiban antara pemberi/penyelenggara layanan dengan pengguna layanan dapat diakses dengan mudah dan dipublikasikan secara terbuka sehingga mudah dipahami oleh publik, maka praktek penyelenggaraan tersebut memiliki tingkat keterbukaan yang tinggi, seperti : persyaratan, waktu, biaya, alur pelayanan, mekanisme pengaduan dan sebagainya.
Sebaliknya manakala semua atau sebagian dari aspek pelayanan tidak terbuka dan sulit untuk di akses oleh para pengguna layanan maupun para stakeholders, maka penyelenggaraan pelayanan tersebut memiliki tingkat keterbukaan yang rendah, atau dengan kata lain tidak memenuhi kaidah keterbukaan .
Kalau kita melihat beberapa latar belakang dilaksanakannya Reformasi Birokrasi, antara lain : masih rendahnya kualitas penyelenggaraan pelayanan publik sehingga belum memenuhi harapan masyarakat serta tingkat keterbukaan dan akuntabilitas yang masih rendah (Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : Per/15/M.PAN/7/2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi), maka keterbukaan merupakan konsep yang strategis sejalan dengan Visi Reformasi Birokrasi, yakni terwujudnya Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik pada tahun 2025.
Publik menghendaki agar pemerintah terbuka dan menjamin akses kepada publik dan stakeholders terhadap berbagai informasi mengenai proses kebijakan publik, termasuk latar belakangnya, sehingga publik setidaknya akan memiliki 2 (dua) kesempatan atau ruang untuk :
1. Menilai sampai sejauh mana kebijakan yang diambil oleh Pemerintah
benar – benar berpihak kepada kepentingan publik dan para stakeholders
2. Mengkritisi dan mengambil sikap yang tepat manakala kebijakan
publik tersebut tidak berorientasi dan memihak kepada kepentingan
publik.
Sebagaimana telah penulis jelaskan pada Bab terdahulu, bahwa nilai budaya keterbukaan memiliki peranan penting dalam penyelenggaraan pemerintahan, juga dalam pelayanan publik, sehingga warga harus diberikan akses seluas-luasnya tentang proses penyelenggaraan pelayanan publik.
Dalam praktik masih sering dijumpai keterbatasan bahkan ketidakpahaman publik terhadap mekanisme dan proses pelayanan publik, sehingga pada gilirannya mengakibatkan munculnya permasalahan dalam pelayanan publik. Perlu disadari bersama bahwa kondisi tersebut sebagian besar sebagai akibat keterbatasan publik untuk memperoleh akses seluas-luasnya informasi kebijaksanaan pelayanan publik, sehingga berakibat rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan hak dan kewajibannya sebagai pengguna layanan, disamping juga dalam rangka untuk ikut mengevaluasi penyelenggaraan pelayanan publik.
Agus Dwiyanto dalam tulisannya ” Transparansi Pelayanan Publik ”(2005), antara lain mengatakan bahwa nilai budaya keterbukaan dapat memberikan dampak yang komplek dalam penyelenggaraan pemerintahan maupun pelayanan publik, antara lain :
1. Karena keterbukaan merupakan salah satu prinsip utama, sehingga akan mempunyai peranan yang signifikan untuk terwujudnya Good Governance sebagai Visi yang ingin dicapai dalam Program Reformasi Birokrasi
2. Keterbukaan juga dapat membawa dampak terhadap peningkatan partisipasi dalam pelayanan publik, karena masyarakat akan berpartisipasi aktif manakala diberikan akses dan informasi yang seluas-luasnya dan mudah mengenal pelaksanaan kegiatan pelayanan publik, serta hak dan kewajibannya sebagai pengguna layanan.
3. Keterbukaan juga memiliki keterkaitan yang erat dengan akuntabilitas publik, karena publik akan bersedia dan mampu untuk mengevaluasi kebijakan pelayanan publik, seandainya publik diberi kesempatan yang seluas-luasnya dan mudah untuk mengakses dan memperoleh informasi terhadap kebijakan dan tindakan yang dilakukan oleh Birokrasi sebagai penyelenggara/penyedia layanan
4. Keterbukaan juga akan menberikan kontribusi yang sangat besar dalam upaya penegakkan hukum dan pemberantasan KKN. Karena publik dapat menjadi apatis dalam menyikapi upaya penegakkan hukum dan pemberantasan KKN sebagai akibat aparat penegak hukum yang seringkali tidak transparan dalam proses penegakkan hukum dan praktek “ tebang pilih “.
Permasalahan Perubahan Pola Pikir Dan Nilai Budaya Keterbukaan Dalam Pelayanan Publik
Selanjutnya Agus Dwiyanto (2005) mengisyaratkan, bahwa untuk mengukur tingkat keterbukaan dalam penyelenggaraan layanan publik setidaknya ada 3 ( tiga ) Indikator yang dapat digunakan, yakni :
1. Mengukur tingkat keterbukaan proses penyelenggaraan layanan publik.Penyelenggara layanan harus mendisiminasikan informasi dan memberikan akses yang mudah bagi para pengguna layanan untuk mengetahui informasi berbagai aspek layanan publik, antara lain persyaratan, waktu, biaya dan terutama hak dan kewajiban penyelenggara maupun pengguna layanan. Untuk itu penyelenggara layanan harus memiliki komitmen yang kuat untuk mensosialisasikan semua aspek layanan publik
2. Seberapa mudah peraturan dan prosedur layanan dapat dipahami oleh pengguna layanan dan stakeholders, maksudnya mekanisme dan prosedur layanan jangan hanya dipahami secara harfiah, tetapi juga makna yang berada dibalik mekanisme dan prosedur tersebut
3. Kemudahan untuk memperoleh informasi mengenai berbagai aspek penyelenggaraan pelayanan publik.
Menurut BAPPENAS beberapa Perangkat Indikator yang harus disediakan meliputi : Peraturan yang menjamin hak untuk mendapatkan informasi, Pusat/Balai Informasi, Website, Iklan layanan masyarakat,.Media Cetak maupun Papan Pegumuman’
Beberapa permasalahan pola pikir aparatur negara masih sering dijumpai di lapangan dalam praktek penyelenggaraan pelayanan publik, sehingga dapat dijadikan sebagai indikasi bahwa nilai budaya keterbukaan belum berjalan dengan baik, antara lain :
1. Tingkat disiplin yang masih rendah, sehingga dampak yang kelihatan antara lain kelambatan dalam pelayanan, masih sering terjadinya pungutan – pungutan liar (pungli).
2. Semangat dan etos kerja yang rendah atau ”kurang greget” untuk dapat memberikan pelayanan terbaik kepada publik, sehingga kinerja dalam pelayanan publik belum memenuhi harapan masyarakat.
3. Nilai budaya keterbukaan yang belum terwujud sepenuhnya. Beberapa oknum aparatur negara memberikan kesan lebih menempatkan diri sebagai penguasa (birokrat) dari pada sebagai pelayan masyarakat, arogan dan ”alergi” terhadap kritik, saran, pengaduan atau keluhan dari publik sebagai pelanggan, sikap yang kurang ramah terhadap pelanggan. Misalnya : terdapat seorang wajib Kartu Tanda Penduduk yang datang ke unit pelayanan KTP yang sama sekali tidak membawa persyaratan administrasi secara lengkap karena ketidakpahaman akan hak dan kewajibannya sebagai wajib KTP, juga pada kasus yang lain seorang yang akan mengurus paspor di Kantor Imigrasi hanya membawa dan menunjukkan KTP kepada petugas pelayanan karena kekurangpahaman persyaratan administrasi pengurusan paspor, demikian pula masyarakat banyak yang tidak memahami berapa biaya pengurusannya, kemana dan bagaimana mekanisme pengaduan manakala masyarakat memperoleh pelayanan yang kurang memuaskan atau terjadi kesalahan dalam prosedur pelayanan. Akibat yang lain yakni masih maraknya praktek per-calo-an dalam pelayanan publik. Kasus semacam ini juga terjadi pada unit2 pelayanan yang lain, seperti pengurusan perijinan, administrasi pertanahan, SIM dsbnya.
Keterbukaan dalam pelayanan publik masih menghadapi banyak kendala yang cukup komplek, baik yang berkaitan dengan sumberdaya aparatur, mekanisme dan prosedur pelayanan sebagaimana diungkap oleh Agus Dwiyanto (2005), dalam tulisannya yang berjudul Transparansi Dalam Pelayanan Publik, antara lain :
1. Kurangnya komitmen dari penyelenggara / penyedia layanan publik untuk terwujudnya keterbukaan dalam pelayanan publik.
2. Struktur Birokrasi yang hierarkhis dan cenderung menciptakan arus informasi yang vertikal sehingga menjadi kendala dalam mewujudkan transparansi pelayanan publik.
3. Keterbatasan akses dan layanan informasi kepada pengguna layanan tentang aspek-aspek penyelenggaraan pelayanan publik
4. Tingkat pendidikan dan pengetahuan sebagian masyarakat yang masih rendah.
Dari uraian diatas penulis melihat bahwa komitmen dari pimpinan mempunyai peranan yang sangat dominan dalam membangun nilai budaya keterbukaan dalam pelayanan publik, dalam arti pimpinan harus menjadi motor penggerak utama (prime-mover) dan harus dapat memberikan teladan/panutan kepada pegawai di lingkungannya.
Kebijakan atau langkah untuk mengembangkan dan mewujudkan keterbukaan di bidang pelayanan publik sudah banyak dilakukan dengan berbagai macam cara atau metode, antara lain salah satu cara menurut Erwan Agus Purwanto (2005) dalam makalahnya yang berjudul Pelayanan Publik Partisipatif dalam Agus Dwiyanto (2005) adalah dengan mengembangkan Citizen’s Charter atau Cient ’s Charter (Kontrak Pelayanan), yaitu adanya standar pelayanan publik yang ditetapkan berdasarkan masukan pelanggan, dan penyelenggara/pemberi layanan berjanji untuk memenuhinya.
Citizen ’s Charter adalah suatu pendekatan dalam memberikan pelayanan publik yang menempatkan pengguna layanan atau pelanggan sebagai pusat perhatian. Ini berarti, kebutuhan dan kepentingan pengguna layanan harus menjadi perhatian utama dalam proses pelayanan
Selanjutnya Erwan Agus Purwanto mengatakan bahwa Citizen ’s Charter ini pada dasarnya merupakan suatu bentuk partisipasi masyarakat dalam penyelenggarakan pelayanan publik dimana para pemberi dan pengguna layanan, serta pihak yang berkepentingan ( stakeholders ) sama-sama membuat dan meyepakati suatu kontrak pelayanan menyangkut prosedur, waktu, biaya, dan cara pelayanan
Kesepakatan ini harus mempertimbangkan keseimbangan kepentingan antara penyedia dan pengguna layanan serta stakeholders.
Dari uraian diatas kebijakan menyusun Citizen ’s Charter dapat diperoleh beberapa manfaat, antara lain :
- Adanya kejelasan hak dan kewajiban antara pemberi dan pengguna layanan dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
- Sebagai alat monitoring dan evaluasi bagi pengguna layanan dalam menilai kebijakan dan langkah para pemberi layanan
- Untuk mendorong partisipasi masyarakat sebagai mitra dalam membangun nilai budaya keterbukaan penyelenggaraan pelayanan publik.
Berbagai instrumen dan upaya inovatif dalam rangka menindaklanjuti konsep Citizen ’s Charter, antara lain dalam Undang Undang Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan Peraturan Menpan Nomor PER/20/M.PAN/04/2006 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Publik telah diatur tentang Standar Pelayanan Publik maupun Maklumat Pelayanan sebagai suatu bentuk pernyataan kesanggupan penyelenggara dalam melaksanakan pelayanan sesuai standar pelayanan dan harus dipublikasikan secara jelas dan luas sebagai suatu penginformasian kepada khalayak, sehingga mudah diketahui, dilihat, dibaca dan diakses oleh publik.
Selain dari pada itu dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 13 tahun 2009 tentang Pedoman Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik Dengan Partisipasi Masyarakat juga telah dikembangkan suatu mekanisme dalam rangka upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik dengan partisipasi masyarakat.
Namun demikian agar Citizen ’s Charter dapat berjalan secara efektif dan berkesinambungan, maka dalam mengembangkan nilai budaya keterbukaan pelayanan publik perlu diperhatikan langkah-langkah sebagai berikut :
- Draft Citizen ’s Charter harus dibuat bersama-sama antara pihak pemberi dan pengguna layanan serta para stakeholders.
- Manakala Citizen ’s Charter sudah selesai disusun dan disepakati bersama antara pemberi dan pengguna layanan serta para stakeholders, harus dilakukan langkah untuk mensosialisasikan kepada masyarakat luas, dalam rangka meningkatkan pemahaman dan partisipasi masyarakat untuk mewujudkan transparansi dalam layanan publik
- Monitoring dan Evaluasi secara berkesinambungan terhadap pelaksanaan Citizen ’s Charter, dan senantiasa harus di Up-date sesuai dengan dinamika perkembangan tuntutan dan kebutuhan para pengguna layanan.
- Membangun komitmen dari semua pihak terkait, khususnya pimpinan unit kerja pelayanan untuk melaksanakan Citizen ’s Charter secara konsisten sebagai salah satu metode untuk mewujudkan nilai budaya keterbukaan dalam pelayanan publik.
Kesimpulan
Nilai budaya keterbukaan sebagai salah satu prinsip utama dalam pelaksanaan kepemerintahan yang baik harus dapat diwujudkan dalam penyelenggaraan pelayanan publik sebagai salah satu agenda dalam Program Reformasi Birokrasi, dalam arti para pengguna layanan dapat memiliki akses atau kemudahan untuk memperoleh informasi seluas-luasnya dari berbagai aspek pelayanan publik secara mudah, cepat dan terjangkau.
Untuk mewujudkan nilai budaya keterbukaan dimaksud masih banyak permasalahan dan kendala yang harus diatasi bersama-sama oleh pihak pemberi maupun penerima layanan.
Citizen ’s Charter sebagai salah satu metode untuk mewujudkan nilai budaya keterbukaan dalam pelayanan publik agar dapat berjalan secara efektif, harus disusun bersama-sama oleh pihak penyedia dan pengguna layanan, disosialisasikan kepada masyarakat dan terus di Up-date secara periodik sesuai dengan dinamika perkembangan masyarakat
Selanjutnya beberapa saran yang dapat menopang perubahan pola pikir untuk mewujudkan nilai budaya keterbukaan dalam pelayanan publik, meliputi :
1. Harus diawali adanya komitmen dari pimpinan puncak, artinya pimpinan harus dapat menjadi panutan sekaligus motivator bagi bawahannya dan stakeholders lainnya.
2. Harus dibangun sistem dalam Pelayanan Publik guna mewujudkan Nilai budaya keterbukaan, antara lain dengan menerapkan konsep Citizen’s Charter dengan melibatkan partisipasi masyarakat, maka setiap unit pelayanan publik harus menyusun Standar Uperating Procedurs (SOP) dan Standar Pelayanan.Masyarakat (SPM) yang harus disusun dengan melibatkan stakeholders guna menampung aspirasi dari publik sebagai pelanggan, dan yang lebih penting lagi baik SOP maupun SPM selanjutnya harus disosialisasikan kepada masyarakat sebagai pelanggan.
3. Kegiatan sosialisasi kepada publik sehingga masyarakat semakin paham dan sadar akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara yang baik, sehingga pada gilirannya akan dapat memacu tumbuhnya semangat partisipasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik
4. Peningkatnya kompetensi melalui diklat , dan pada saat yang bersamaan diharapkan akan memperluas wawasan dan meningkatkan kualitas moral serta etika para aparatur negara dalam melaksanakan tugas pelayanan publik
Daftar Pustaka
Dwiyanto, Agus (ed) (2005) Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Yogyakarta: Gajah Mada Universitiy Press
Nursandi Haranto, SH, M Si (2006), Modul Penerapan Budaya Kerja Aparatur Negara, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara RI, Jakarta
Kinanto, Tasdik (2011), Tak Dapat Ditawar PNS Harus Disiplin, http :/menpan go id.index.php/berita-indwx/745-tasdik-kinanto-tak-dapat-ditawar-pns -harus disiplin
Pedoman Umum Reformasi Birokrasi, (2008) Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, Jakarta
Peraturan Perundang-Undangan
Undang Undang Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/20/M.PAN/
04/2006 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Publik
Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 13 Tahun
2009 Tentang Pedoman Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik
Dengan Partisipasi Masyarakat, Kementerian Negara Pendayagunaan
Aparatur Negara
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 25/KEP/M.PAN/4/
2002 tentang Pedoman Pengembangan Budaya Kerja Aparatur Negara
18 02 2013 12:06:1